Oleh Agus Basri
Risalah Mujahidin – Kisruh di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat belum mereda. Keraton Kerajaan Mataram yang ada di Yogya, yang dikenal sebagai kota gudeg yang adem ayem dan ramah itu, seperti terendam tetapi terus mendidih. Dan sumber api panasnya justru dari dalam keraton sendiri, bukan luapan panas yang berasal dari Merapi.
Sumbu pemanas, yang kemudian juga menyulut masyarakat Yogya berunjuk rasa dengan menggelar spanduk protes, itu bermula dari dua Sabdaraja Yogya, yang kini bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.
Gelar Sri sultan yang baru ini telah menghapus kata ‘Khalifatullah’, ‘Buwono’ yang digantikan dengan Bawono, dan membuang pula kata “Abdurrahman Sayidin Panatagama”. Gelar lengkap sebelumnya adalah: Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Situasi Kraton Yogya yang sempat memanas, tidak lepas dari sabda Sri Sultan, demikian panggilan akrabnya, dengan sabdanya pada 30 April 2015 dan 5 Mei 2015. Kunci persoalan tampaknya adalah pada penghilangan kata ‘Khalifatullah’ dan menggantikan kata ‘Buwono’ (dunia) menjadi ‘Bawono’ (dunia dan akhirat); kemudian memuncak dengan sabda 5 Mei 2015 tentang pengukuhan putri sulung Sri Sultan, GKR Pembayun, menjadi Pangeran Mangkubumi, sehingga menaikkan gelarnya menjadi: “Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram”.
Konon, “Ada dhawuh (perintah), bahwa Sultan mengangkat G.K.R. Mangkubumi sebagai calon penggantinya. Dan penggantinya itu harus berasal dari pancer-nya (keturunan langsung),” kata seorang kerabat keraton yang muncul di media. Sehingga ada saja yang kemudian dengan beraninya mengatakan bahwa Pembayun dinobatkan menjadi putri mahkota Keraton Yogyakarta.
Lontaran yang Menguak Sejarah
Maka reaksi pun bermunculan, terutama dari dalam keraton, dari adik-adik dan kerabat Sri Sultan sendiri. Ada pula reaksi dari luar yang memperkirakan berimbas dengan Perda DIY yang terkait dengan pemilihan gubernur yang menyebut salah satu syaratnya harus laki-laki. Dan pula reaksi dari beratus santri dari berpuluh pesantren yang mempersoalkan penghilangan status Khalifatullah pada raja Jogja.
Menurut Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman Kiai Abdul Muhaimin, keputusan Sri Sultan itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. Sabda Raja, katanya, bakal memutus rantai sejarah Keraton Mataram Islam. Sebab gelar tersebut merupakan konsep kepemimpinan politik dan spiritual yang menjadi warisan sejarah panjang Kerajaan Mataram.
Dalam gelar Khalifatullah, Muhaimin menandaskan, terkandung prinsip kesatuan antara nilai budaya Jawa dan Islam yang dianut rakyat. “Kepemimpinan negara menyatu dengan kepemimpinan agama, makanya Sultan layak disebut Khalifatullah,” katanya.
Muhaimin, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, berpendapat, dengan penghapusan gelar Khalifatullah, nilai konsep kepemimpinan Keraton tereduksi. Selain memutus riwayat Keraton Mataram Islam, keputusan itu menurunkan derajat kewibawaan kepemimpinan Raja Yogyakarta. “Sabda Raja ini justru akan mengerdilkan kedudukan Raja di mata masyarakat,” kata Muhaimin seperti dikutip Tempo.com.
Ihwal pandangan bahwa perubahan itu merupakan hak prerogatif dan cara Sri Sultan untuk mengangkat perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta, Muhaimin tidak sepakat. Mengorbitkan sultan perempuan, kata Muhaimin, tidak sesuai dengan simbol pemimpin di Keraton Yogyakarta yang merujuk pada figur laki-laki. Berbeda dengan sejarah kesultanan di Aceh yang sempat menempatkan sultanah-sultanah alias perempuan-perempuan menjadi sultan atau ratu.
Begitu pula masyarakat Kampung Kauman, yang berada di sisi depan samping di luar keraton, yang bergandengan dengan Masjid Gedhe Kagungan Dalem Keraton, menggelar spanduk protes di kawasan di Titik Nol Kilometer, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kauman, Pasar Ngasem, dan Simpang Gondomanan. Spanduk berwarna putih berukuran 3×0,5 meter persegi itu berbunyi “Kembalikan Paugeran-Jogja Tetap Istimewa”. Dan berpuluh spanduk lain kemudian bersusulan.
Koordinator pemasang spanduk itu, Muhammad Muslih, mengaku mencetak tak kurang dari 200 spanduk berisi protes terhadap Raja Keraton Yogyakarta yang dianggap menyalahi adat-istiadat keraton. “Raja menghapus khalifatullah dalam gelarnya seperti menurunkan wibawanya sendiri,” kata Muslih, yang sehari-hari koordinator paguyuban parkir di area Alun-alun Utara.
“Kami pasang di seluruh Kabupaten dan Kota DIY biar warga tak cuma diam, tapi gumregah saat ada masalah seperti ini,” katanya.
Namun Rois Syuriah NU Daerah Istimewa Yogya Kiai Asyhari Abta menganggap penggantian gelar adalah wewenang Sultan HB ke- X. Meski begitu, menurut Asyhari, penghapusan gelar Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. “Identitas kerajaan Islam di Keraton Yogyakarta semakin luntur,” kata Asyhari dengan lantang.
Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra, Guru Besar Antropologi UGM, munculnya Sabda Raja menjadi penanda penting perubahan Keraton Yogyakarta. Penghapusan gelar Khalifatullah melenyapkan separuh derajat keistimewaan Yogyakarta. “Masyarakat harus siap melihat Keraton sudah berubah,” kata sang profesor. Dalam pandangan Heddy, sabdaraja berkaitan dengan isu suksesi di Keraton Yogyakarta yang selama ini diriuhkan dengan perdebatan keabsahan sultan perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari pertentangan antara nilai sistem politik modern dan tradisional yang mengiringi Keraton Yogyakarta sejak era kemerdekaan Indonesia. “Dalam sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau tradisional, sultan harus laki-laki,” katanya.
Kesultanan, Gubernuran, dan Keistimewaan
Memang kemudian ada juga yang mengaitkan pengangkatan putri sulung Sri Sultan—sebagaimana disabdakan bahwa itu sesuai dawuh Gusti Allah dan para leluhur—menjadi Pangeran Mangkubumi itu tidak lepas dari urusan kuasa dunia. Konon katanya ada suatu ganjalan bagi putri sulung Sultan, yakni peraturan pencalonan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menyebutkan gubernur harus dijabat oleh laki-laki. Syarat menjadi gubernur menurut Pasal 18 ayat C dan M Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY adalah:
Ayat C, bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertahta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.
Ayat M, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Dan persyaratan itu disetujui DPRD Yogyakarta Maret lalu. Inilah, dari urutan fakta yang dikumpulkan, nyatanya kemudian Sultan langsung mengeluarkan sabdatama pada 6 Maret menyatakan Raja Keraton Yogyakarta bisa saja laki-laki atau perempuan. Semua pihak tentu mengetahui bahwa seluruh anak Sultan adalah perempuan.
Maka tak berlebihan suara dari dalam kesultanan juga lantang. Ini dapat terlihat dari hubungan yang kental bernuansa “di kejauhan kendatipun dekat secara fisik dan berkerabat dalam keluarga keraton. Pada sebuah kesempatan, rombongan adik-adik Sultan yang dipimpin Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo berziarah ke Imogiri memasuki makam almarthum Sri Sultan HB IX. Pada saat yang sama rombongan anak-anak Sultan yang dipimpin Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram tengah berada di lokasi makam HB I, yang bersebelahan dengan makam HB IX.
Kala rombongan Mangkubumi memasuki lokasi makam HB IX, rombongan Prabukusumo belum keluar. Rombongan itu meliputi Mangkubumi beserta suaminya, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro, dan tiga adiknya, yaitu GKR Condrokirono; GKR Maduretno dan suaminya, KPH Probodiningrat; serta GKR Bendara. Sedangkan rombongan Prabukusumo berjumlah sepuluh orang yang meliputi adik-adik Sultan yang tinggal di Yogyakarta dan Jakarta. Yang tinggal di Yogyakarta selain Prabukusumo adalah GBPH Yudhaningrat, GBPH Condrodiningrat, dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto (adik kandung Sultan). Sedangkan yang dari Jakarta ada GBPH Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryadiningrat, GBPH Suryametaram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro.
Ketika lebih dulu keluar dari lokasi makam, Prabukusumo membenarkan bertemu dengan rombongan Mangkubumi. Namun, sang Prabu membantah saling bertegur sapa saat bertemu. “Menyapa? Enggak. Ya, (rombongan Mangkubumi) enggak tahu diri,” tutur Prabukusumo.
Kedatangan rombongan adik-adik Sultan tersebut ke makam HB IX untuk berziarah dan memintakan maaf atas kesalahan Sultan yang dianggap khilaf karena Sabda Raja yang diucapkan bertentangan dengan paugeran (aturan Keraton Yogyakarta). “Karena (isi Sabda Raja) menghilangkan gelar ‘Khalifatullah’, menghilangkan tradisi mengucapkan assalamu’alaikum,” tutur Prabukusumo. Dan di situ, rombongan Prabukusumo berdoa agar Keraton Yogyakarta tetap lestari dalam menjaga paugeran, adat istiadat, dan tradisi budaya.
Reaksi dari luar keraton tak kalah kerasnya terlihat dari Kyai Haji Muhammad Jazir selaku Pimpinan Lembaga Jaringan Masyarakat Peduli Keistimewaan Yogya, yang mengkhawatirkan adanya hasrat hendak mewariskan tahta kepada putri sulung, yang kini bergelar Mangkubumi. Jazir mensinyalir kekhawatiran tentang kemungkinan dana keistimewaan sebesar Rp 500 miliar setahun bakal dihapus oleh pemerintah pusat. “Status keistimewaan dalam undang-undang itu bukan tak mungkin diamandemen lagi dan bisa berdampak besar, termasuk pada nasib dana keistimewaan,” kata M. Jazir yang biasa bersuara menekan, lantang, dan meyakinkan.
Jika benar Gusti Raden Ajeng Nurmalitasari, begitu nama asalnya, bakal menggantikan ayahnya, maka salah satu tugas utamanya mengelola anggaran pemerintah dapat diperkirakan bakal tidak kunjung digunakan secara optimal.
Anggaran dana keistimewaan pada 2013 sebesar Rp 115,6 miliar hanya mampu terserap sebesar Rp 28,7 miliar (24,8%). Dana yang cair pada November 2013 awalnya sebesar Rp 231 miliar namun dikoreksi Kementerian Keuangan menjadi Rp 115,6 miliar. Angka dana Keistimewaan pada 2014 lebih besar dan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta hanya mampu menggunakan anggaran dana keistimewaan sebesar Rp 418 miliar dari jatah Rp 523 miliar. Maka gerundelan lantang banyak kalangan, seperti dilontarkan pengageng sekelas Prabukusumo cukup beralasan.[]